Urat Marah

Nanti, ketika debat membuat kita menegangkan urat. Pun saling menatap jahat. Aku ingin kita saling menyadarkan diri. Betapa berat penantian untuk sampai di titik ini. Peluk aku saat marahku kian membakar habis jati diri. Aku tak ingin semakin liar menghakimi. Aku tak ingin menjadi kasar dan memaki. Hentikan aku dan ingatkan lagi. Kita ada untuk membangun bahagia. Bukan luka. Sebab, apapun itu, aku tak ingin kehilanganmu.

Kamu tahu apa yang membuatmu tak tergantikan?

Karena kamu tak pernah membiarkanku melewati badai sendirian. Kamu masih menemani, meski aku bersikeras berdiam diri. Kamu tetap ada, meski aku membuang muka. Katamu tak apa jika tak ada yang bicara asal kita baik-baik saja. Hatiku tersentuh, gemuruh di dadaku luruh. Aku tertampar dalam sadar, bahwa marahku sedikit kekanakan.

Terima kasih telah begitu bersabar, menghadapi perasaanku yang kerap kali berubah tak karuan. Terima kasih karena tidak pergi, meski hati dan pikiranku serumit ini.

Komentar